A. LATAR
BELAKANG
Sebagai sebuah terminologi,
multikulturalisme kadang agak membingungkan karena ia merujuk secara sekaligus
pada dua hal yang berbeda: realitas dan etika, atau praktik dan ajaran.
Sebagai realitas atau praktik, multikulturalisme dipahami sebagai representasi
yang produktif atas interaksi di antara elemen-elemen sosial yang beragam dalam
sebuah tataran kehidupan kolektif yang berkelanjutan. Sebagai sebuah
etika atau ajaran, multikulturalisme merujuk pada spirit, etos, dan kepercayaan
tentang bagaimana keragaman atas unit-unit sosial yang berciri privat dan
relatif otonom itu, seperti etnisitas dan budaya, semestinya dikelola dalam
ruang-ruang publik.
Dalam masyarakat-masyarakat yang
memiliki kesempatan untuk berevolusi melalui perubahan sosial yang panjang dan
bersifat gradual, multikulturalisme (dengan nama yang sama atau yang lain)
sering merupakan hasil dari sebuah proses sosial yang terjadi. Dengan
kata lain, sejarah yang panjang telah menghasilkan sebuah tatanan kolektif yang
memungkinkan di satu pihak keragaman mendapatkan ruang untuk berkembang dan di
pihak lain memungkinkan integrasi sosial di tingkat yang lebih tinggi dapat
terpelihara.
Dalam
masyarakat semacam ini, multikulturalisme adalah hasil dari sebuah logika yang
dibangun dari realitas sebuah masyarakat majemuk. Kebanyakan
masyarakat Barat jatuh dalam kategori ini. Amerika adalah contoh sebuah
masyarakat yang “menemukan” logika “melting-pot” sebagai jawaban atas
kemajemukan. Logika ini tidak dibangun pertama-tama dari gagasan ideal, tetapi
dibangun dari sebuah keniscayaan sosial. Alhasil, melting-pot
multikulturalisme ala Amerika adalah sebuah nilai yang melembaga bersama-sama
dengan nilai-nilai penting masyarakat Amerika lainnya. Dalam ekspresi
mereka, multikulturalisme adalah jawaban kepada kebutuhan bagi terjaminnya
prinsip the freedom of expression.
Di Australia, dengan sejarah yang sedikit berbeda, multikulturalisme memperoleh
tempat yang penting sebagai institusi sosial yang memperkuat demokrasi dan
komitmen warga negara terhadap Australia.
Di
kebanyakan belahan dunia yang lain, dalam mana sebagian besar dari mereka
adalah bangsa-bangsa bekas jajahan yang terdiri atas kelompok-kelompok etnik
dan budaya yang sangat majemuk itu, multikulturalisme adalah sebuah gagasan
yang diperjuangkan. Bahkan, lebih dini dari itu, kebanyakan negeri-negeri
yang relatif muda usia ini, harus berjuang terlebih dahulu dengan gagasan
nasionalisme. Gagasan nasionalisme negeri-negeri yang pada umumnya
memperoleh kemerdekaannya setelah Perang Dunia Kedua ini, dibangun melalui
kesadaran para pemimpinnya akan sebuah kepercayaan bahwa sebuah negeri yang
amat majemuk, sering kali terdiri atas puluhan bahkan ratusan kelompok etnis,
hanya mungkin dipersatukan dengan ikrar yang meneguhkan persatuan sebagai dasar
untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik.
Akar
nasionalisme Indonesia sejak awal justru didasarkan pada tekad yang menekankan
cita-cita bersama di samping pengakuan sekaligus penghargaan pada perbedaan
sebagai pengikat kebangsaan. Di Indonesia, kesadadaran semacam itu sangat
jelas terlihat. Bhinneka Tunggal Ika (“berbeda-beda namun satu jua”)
adalah prinsip yang mencoba menekankan cita-cita yang sama dan kemajemukan
sebagai perekat kebangsaan. Dalam prinsipnya, etika ini meneguhkan pentingnya
komitmen negara untuk memberi ruang bagi kemajemukan pada satu pihak dan pada
pihak lain pada tercapainya cita-cita akan kemakmuran dan keadilan sebagai
wujud dari tujuan nasionalisme Indonesia.
Pada
tempat inilah, penafsiran pada nasionalisme Indonesia semestinya memperhatikan
dua elemen dasar itu secara sekaligus. Ikatan kebangsaan yang semata-mata
didasarkan pada nilai-nilai kemakmuran (yang bersifat material itu) dan
keadilan (yang bersifat spiritual itu) tidak akan mampu menjawab persoalan tentang
bagaimana kemajemukan itu hendak dikelola dalam proses pencapaian tujuan
bersama yang mulia itu. Pencapaian tujuan bersama jelas merupakan sebuah
proses yang tidak saja kompleks secara ekonomi dan politik tetapi juga sebuah
proses yang panjang dan berkelanjutan secara sosial dan budaya.
Bangsa
semajemuk Indonesia jelas memerlukan lebih dari itu. Nasionalisme
Indonesia yang hanya mendasarkan pada elemen pertama, yakni pengikatan diri
pada cita-cita bersama akan kemakmuran dan keadilan, senantiasa akan terancam
karena mudah dirongrong oleh persepsi tentang kegagalan kolektif kita dalam
pencapaian tujuan bersama itu. Di samping itu, nasionalisme yang melulu
dibangun pada janji sebuah kehidupan bersama yang lebih baik itu, mudah lapuk
karena kemajemukan itu sendiri menawarkan ketegangan yang inheren.
Dalam
gagasan pokok semacam inilah, penafsiran atas akar nasionalisme Indonesia itu
selayaknya juga memberi dasar bagi sebuah kesadaran kolektif untuk
mengembangkan dan membangun sebuah pendekatan yang memungkinkan keragaman etnik
dan kultural itu justru menjadi kekuatan bangsa ini untuk melanjutkan
pencapaian cita-citanya.
Tulisan
ini sebenarnya mempersoalkan pentingnya pemahaman pluralisme budaya bagi
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Realitas Indonesia sebagai bangsa
besar dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda pada masing-masing daerah,
selain dipahami sebagai sebuah kebanggaan juga dapat menjadi boomerang bagi
keutuhan NKRI. Perbadedaan kebudayaan sendiri sebenarnya menjelaskan tentang
perbedaan orientasi, way of life
(pandangan hidup), serta ideology dari kelompok-kelompok masyarakat tersebut.
Hemat
saya perbedaan-perbedaan yang sifatnya hakiki dan merupakan fundamen dalam
menjalankan kehidupan bermasyarakat seperti yang telah dijelaskan diatas, bukan
tidak munfkin akan mendatangkan malapetaka. Konflik berdarah pada akhirnya akan
menjawabi kebutuhan akan sebuah pemahaman yang sama tentang perbedaan. Oleh
karena itu menjadi tugas rumah untuk kita, dalam usaha menciptakan masyarakat
Indonesia yang berwawasan multikulturalisme. Karena hemat saya, jawaban
terhadap keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah
pemahaman tentang multikulturalisme sehingga perbedaan tidak meruncing pada;
misalnya pembantaian etnis, pembakaran gereja atau tempat ibadah, dll.
B. KONSEP
MULTIKULTURALISME
Keragaman,
atau kebhinnekaan atau multikulturalisme merupakan salah satu realitas utama
yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan di waktu-waktu
mendatang. Multikulturalisme secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan,
bahwa sebuah negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya,
negara tidak mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal.
Multikulturalisme bertentangan dengan
monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan
untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing
homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah
timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda
dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan
baru.
Pandangan dunia "multikultural"
secara substantif sebenarnya tidaklah terlalu baru di Indonesia. Prinsip
Indonesia sebagai negara "bhinneka tunggal ika", mencerminkan bahwa
meskipun Indonesia adalah multikultural, tetapi tetap terintegrasi dalam
keikaan, kesatuan. Pembentukan masyarakat multi-kultural Indonesia tidak
bisa secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya
harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated, dan
berkesinambungan. Langkah yang paling strategis dalam hal ini adalah melalui
pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga
pendidikan, baik formal maupun nonformal, dan bahkan informal dalam masyarakat
luas.
Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak negara Republik Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan dan persatuan. Paham monokulturalisme kemudian ditekankan. Alhasil sampai saat ini, wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah.
Bangunan Indonesia Baru dari hasil
reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah
"masyarakat multikultural Indonesia" dari puing-puing tatanan
kehidupan Orde Baru yang bercorak "masyarakat majemuk" (plural
society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka
tunggal ika bukan lagi keanekaragaman sukubangsa dan kebudayaannya tetapi
keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Pendidikan multikultural sangat penting
diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa
daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset
(pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.
Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multikultural diharapkan
mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik. Selain itu, pendidikan
multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk
benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan.
D. Multikulturalisme
sebagai Alternatif
Dalam pandangan
saya, multikulturalisme didefinisikan oleh banyak kalangan sebagai sebagai
sebuah kepercayaan yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnik atau budaya
(ethnic and cultural groups) dapat hidup berdampingan secara damai dalam
prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain
adalah sebuah tema yang relatif baru dibicarakan di negeri ini. Sebagai
sebuah tema, multikulturalisme dibicarakan umumnya dalam kerangka mengunjungi
kembali (revisiting) dan menemukan kembali (reinventing) gagasan-gagasan yang
lebih masuk akal tentang bagaimana sebuah masyarakat majemuk di Indonesia ini
dapat dikembangkan dalam sebuah konsepsi masyarakat “warna-warni” yang tidak
saja berciri partisipatoris namun juga emansipatoris.
Jelas, semangat
dasar awalnya adalah mencoba menggugat pertanyaan pokok tentang bagaimana
kelompok-kelompok etnik (yang lokal itu) dan budaya (yang partikular itu) itu
semestinya memposisikan dirinya ke dalam sebuah kehidupan bersama dalam sebuah
masyarakat nasional yang dikelilingi oleh nilai-nilai universal (seperti
demokrasi, keadilan, persamaan, dan kemerdekaan) dan, bahkan akhir-akhir ini,
dalam sebuah tataran global yang menyelimuti sebuah perubahan besar.
Dengan kata lain, bagaimanakah kelompok-kelompok etnik dan budaya yang berbeda
denominasinya itu di satu pihak memiliki kesanggupan untuk memelihara identitas
kelompoknya dan di pihak lain mampu berinteraksi dalam ruang bersama yang
ditandai oleh kesediaan untuk menerima pluralisme dan toleransi (mengakui dan
menghormati perbedaan).
Lebih jelas lagi,
bagaimanakah, misalnya, kelompok-kelompok etnik Pidie, Mandailing, Minang,
Betawi, Sunda, Jawa, Cina, Bali, Manggarai, Ambon, Manado, Serui, yang beragama
Islam, Hindu, Khong Hu Cu, Budha, Kristen, Katolik, atau yang beraliran
kepercayaan Pangestu, itu semua, mampu hidup berdampingan dalam sebuah habitat
sosial yang di satu pihak memberi tempat bagi terpeliharanya identitas lokal
dan kepercayaan partikularnya masing-masing, dan di pihak lain memberi
kesempatan bagi sebuah proses terjadinya integrasi sosial, politik, budaya, dan
ekonomi di tingkat nasional dan global.
Memang, ihwal itu
bukan hal sederhana. Ketidaksederhanaan perkaranya pertama-tama terletak
pada masalah bagaimanakah kesadaran bersama itu dibangunkan dalam sebuah ruang
yang di samping memberikan kebebasan untuk melakukan interpretasi yang
serba-ragam juga mengundang elemen-elemen yang berbeda itu untuk menemukan
kebutuhan bersama bagi sebuah integrasi di tingkat yang lebih tinggi.
Kedua, proses itu tidak terjadi dalam ruang yang terisolasi dari
persoalan-persoalan ketidakmerataan, bahkan ketidakadilan, tentang bagaimana
sumber-sumber politik dan ekonomi itu dialokasikan dan didistribusikan dalam
masyarakat nasional dan internasional. Ketiga, perubahan yang berlangsung
di tataran global mendiktekan agenda-agenda politik dan ekonomi baru yang
mempersempit kesempatan kita untuk mendefiniskan kembali gagasan-gagasan dasar
tentang negara (serba-) bangsa (the idea of Indonesian [multi-) nation-state)
tanpa meingindahkan gagasan-gagasan dan praktik-praktik materialisame-rasional
yang dibawa serta oleh ekonomi pasar global.
Saya tidak sedang
mengatakan bahwa usaha mempromosikan multikulturalisme di Indonesia adalah
sebuah langkah yang muskil. Saya, sebaliknya, sedang mengatakan
multikulturalisme merupakan sebuah agenda besar bersama kita yang tidak saja
perlu dan penting, tetapi juga merupakan satu-satunya jawaban atas kegagalan
kita di masa lalu mengelola masyarakat majemuk di Indonesia. Walaupun
begitu, saya juga ingin mengatakan bahwa ihwal yang kita sedang hadapi dalam
mendefiniskan, menyepakati, mempromosikan, dan melembagakan multikulturalisme
adalah sebuah proses yang sepenuhnya harus dipahami sebagai agenda yang asli baru
dalam wacana politik-budaya di Indonesia. Dalam pengertian ini,
multikulturalisme jelas harus bersaing dengan pendekatan Asimilasi (di negeri
ini juga dikenal dengan nama populer Pembauran) dan bahkan mungkin juga dengan
pendekatan Integrasi yang pada masa lalu dipromosikan oleh eksponen BAPPERKI.
Pendekatan Asimiliasi berangkat dari
kesadaran tipologis tentang (yang) “asli” dan (yang) “asing”. Asumsi yang
dipakai dalam tipologi ini adalah yang “asli” harus dilindingi dari yang
“asing” karena kepercayaan bahwa yang disebut terakhir itu memiliki potensi
mengancam yang pertama. Itu sebabnya pendekatan Asimilasi mendiktekan
sebuah strategi budaya yang mendorong yang “asing” membaur dengan yang
“asli”. Harus dikatakan di sini, walaupun secara teoritis yang disebut
dengan yang “asing” itu berlaku untuk semua yang “tidak asli”, dalam
kenyataannya wacana itu terutama diarahkan pada kelompok etnis Cina.
Tidak heran apabila pendekatan Asimilasi ini dituduh tidak hanya berbau
xenophobia tetapi juga rasis. Di samping itu, sebenarnya terdapat masalah yang
rumit dalam definisi tentang “asli” dan “asing” di negeri kepulauan ini yang
selama berabad-abad sebelumnya menerima migrasi dari berbagai bangsa.
Sementara itu, pendekatan Integrasi,
menurut saya, tidak cukup lengkap menjawab kebutuhan masyarakat meajemuk di
negeri ini. Salah satu alasan utamanya adalah, pendekatan ini jelas
dimaksudkan pada awalnya sebagai reaksi penolakan sebagian kelompok etnis Cina
terhadap gagasan pembauran. Saya tidak menampik pada gagasan dasarnya
yang menuntutkan penerimaan dan perlakukan yang sama terhadap kelompok etnis
Cina di Indonesia se-sama seperti yang diterima oleh kelompok-kelompok etnis
lainnya (baik yang “asli” maupun yang “asing” lainnya seperti kelompok etnis
Arab atau yang setengah “asli” setengah “asing” (seperti kaum Indo).
Tidak ada penolakan
saya sedikitpun tentang gagasan itu. Yang saya kira tidak memadai dari
pendekatan integrasi itu adalah tidak hadirnya konsepsi masyarakat yang
dibangun atas ciri kemejemukan yang partisipatoris dan emansipatoris.
Selain itu, pendekatan integrasi berkesan memfokuskan perhatiannya pada
hubungan di antara etnis Cina dan Bumiputera daripada terutama pada hubungan
antar-etnis yang beragam di negeri ini termasuk etnis Cina.
Dalam keyakinan
saya, sebagai sebuah pendekatan politik budaya, multikulturalisme menawarkan
hadirnya realitas ganda atau (dual-reality) atau bahkan realitas ragam
(multy-reality) sekaligus: kebedaan-kemiripan (differences-similarities),
keragaman kesatuan (diversity unity), identitas-integrasi (identity-integration),
lokalitas/partikularitas-universalitas (locality/particularity-universality),
nasionalitas-globalitas (nationality-globality). Dalam konstruksi seperti itu,
multikulturalisme memfasilitasi pemahaman yang lebih baik dan mengeliminasi
ketegangan dikotomis tentang realitas ganda atau ragam di sekitar etnisitas dan
budaya. Jelas, multikulturalisme tidak atau tidak pernah dimaksudkan
untuk menghilangkan kekhususan (specifity) dari sebuah ciri etnik atau budaya; tidak
juga dimaksudkan untuk meleburnya ke dalam sebuah keumuman (generality).
Dengan definisi seperti ini, multikulturalisme dalam pandangan saya adalah,
sebuah formasi sosial yang membukakan jalan bagi dibangunnya ruang-ruang bagi
identitas yang beragam dan sekaligus jembatan yang menghubungkan ruang-ruang
itu untuk sebuah integrasi.
E. Pendekatan Pro-Eksistensi
dalam Multikulturalisme di Indonesia
Mempromosikan multikulturalisme, karena
itu, bukan sekedar langkah menyuguhkan warna-warni identitas. Tetapi,
pertama-tama, membangun kesadaran tentang pentingnya kelompok-kelompok etnis
dan budaya itu memiliki kemampuan untuk berinteraksi dalam ruang bersama.
Kata kunci dari pendekatan ini terletak pada usaha yang lebih sistematis untuk
menyertakan pendekatan struktural politik dan ekonomi dalam proses itu.
Ini berarti bahwa multikulturalisme di negeri ini membutuhkan pengintegrasian
pendekatan lainnya selain budaya untuk memungkinkan tema-tema yang relevan di
sekitar keadilan dan persamaan dapat menjadi faktor yang ikut memperkuat
multikulturalisme.
Hakikatnya prinsip pro-eksistensi ini
ditandai tidak saja oleh hadirnya kualitas hidup berdampingan secara damai,
tetapi juga oleh kesadaran untuk ikut menjadi bagian dari usaha memecahkan
masalah yang dihadapi oleh kelompok lain. Karena itu, pro-eksistensi
menghendaki diakhirinya kebisuan (silence) dan pembiaran (ignorance) atas nasib
kelompok lain. Dengan kata lain, pro-eksistensi mensyaratkan juga prinsip
inklusi, bukan eksklusi (inclusion not exclusion). Kualitas semacam ini
diperlukan untuk memungkinkan kelompok-kelompok yang berbeda itu memiliki
kebutuhan untuk menghasilkan integrasi di samping identitas lokal dan
partikular yang serba-ragam itu.
Di tingkat global, multikulturalisme
menghadapi ancaman yang berbeda. Apabila di tingkat negara bangsa
multikulturalisme diperlukan untuk mengelola identitas etnik dan kultural yang
serba-ragam itu, di tingkat global kecenderungan yang sebaliknya justru sedang
terjadi. Globalisasi menghasilkan kecenderungan monokulturalisme yang
terutama didorong oleh proses-proses dan praktik-praktik material-rasional yang
dibawa oleh ekonomi pasar global. Walaupun di atas permukaan teknologi
informasi tampak secara ramai mendorong terjadinya pertukaran budaya (cultural exchange),
di antaranya melalui prinsip peminjaman (borrowing) dan sampai batas-batas
tertentu sinkretisme, yang sesungguhnya terjadi tidak lebih dari usaha
penegasan budaya dominan di atas yang lain.
Konsep “Other” dipakai untuk membangun
sebuah struktur hirarki budaya dominan-marjinal, moderen-etnik,
global-lokal. Jelas, ini bukan multikulturalisme yang partisipatoris dan
emansipatoris. Struktur hirarki budaya semacam ini hanya ingin
mengukuhkan superioritas yang disebut pertama (dominan-moderen-global) atas
yang terakhir (marjinal-etnik-lokal). Yang disebut terakhir dihadirkan
sebagai bentuk ekspresi eksotisme komunitas etnik yang lokal, mungkin sekaligus
partikular, sebagai kontras dari rasionalitas modernitas global. Walaupun
pembicaraan tentang tema ini merupakan arena yang berbeda dari yang kita
bicarakan sebelumnya, dalam pandangan saya, sangat penting untuk memperhatikan
apa yang saya sebut sebagai perangkap budaya globalisasi.
Multikulturalisme global yang sedang terjadi dapat membuat kita terasing pada
dua hal sekaligus: terasing dari habitat kita sendiri dan dari dunia yang
mengelilingi kita . Perangkap ini dapat membuat kita terkecoh karena
multikulturalisme yang dalam asasnya tak berbeda dengan pendekatan Asimilasi
yang kita bicarakan tadi itu justru mengakibatkan terjadinya proses dislokasi,
disorientasi, disafiliasi, dan disintegrasi.
Di tengah globalisasi, isolasi memang
bukan jawaban atas perkara itu. Dunia sedang berubah dan selalu memang
begitu. Perubahan yang saat ini sedang terjadi menjadi lain dari
perubahan-perubahan sebelumnya karena konsepsi tentang identitas tidak lagi
dapat dikurung dalam ruang hampa. Globalisasi membuat kesadaran etnik dan
budaya menjadi serba absurd. Relativitas menjadikan identitas tidak mudah
dikonstruksikan oleh proses-proses budaya yang otonom. Karena itu,
multikulturalisme, baik di tingkat nasional maupun global, membutuhkan
redefinisi atas kehidupan bersama. Juga, reposisi dan renegosiasi atas
cara kita memberi makna atas prinsip-prinsi keadilan dan persamaan. Dalam
keyakinan multikulturalisme saya, yang kita butuhkan bukan monokulturalisme
tetapi multikulturalisme; bukan pembauran tetapi pambaruan; bukan ko-eksistensi
tetapi pro-eksistensi; bukan eksklusi tetapi inklusi; bukan separasi tetapi
interaksi. Bukan juga kemajemukan demi kemajemukan, atau kemajemukan
sekedar warna-warni, tetapi kemajemukan yang dibangun di atas landasan
multikuturalisme yang emansipatorik.
F. PENUTUP
Pemahaman tentang multikulturalisme sangat
penting dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia demi tercapainya keutuhan NKRI.
Telah dipaparkan diatas bahwa kesalahan dalam mempersepsi perbedaan akan
berakibat sangat fatal terhadap usaha integratisasi yang diusahakan oleh Negara
Indonesia. NKRI sebagai Negara dengan beribu-ribu macam kebudayaan, memiliki
tugas penting bagi masyarakatnya dalam rangka menanamkan pengetahuan multikulturalisme
bagi generasi-generasi penerus bangsa. Sehingga pada akhirnya keutuhan bangsa
dapat diperthankan.
Tidak dapat disangkal bahwa pendidikan
multikuturalisme merupakan alat penangkal dalam usaha meminimalisasi
ketegangan-ketegangan yang terjadi dalam masyarakat akibat perbedaan-perbedaan
yang ada. Masyarakat Indonesia seperti dijelaskan dalam pendekatan
Pro-Eksitensi, haruslah menjadi partner atau rekan kerja bagi usaha
mempertahankan keutuhan bangsa. Usaha atau kegiatan positif dari suatu kelompok
kebudayaan, haruslah didukung oleh kelompok kebudayaan lain, sehingga tercipta
semangat tenggang rasa atau tepo seliro.
Melalui tulisan ini saya menghimbau agar
masyarakat Indonesia, khususnya kita sebagai mahasiswa agar terus menanamkan
semangat persaudaraan serta rasa memiliki terhadap NKRI, serta membantu usaha
masyarakat seluruhnya dalam memelihara perdamaian. Dan tetap menjaga keharmonisan
dengan giat mengembangkan serta meberdayagunakan nilai pluralism dalam tiap
kebudayaan.