Selasa, 24 Juli 2012


TARIAN HEDUNG DARI SUKU LAMAHOLOT
A.  Selayang Pandang
Tarian Hedung  adalah tarian perang yang berasal dari Adonara. Sejarah mencatat,  Zaman dahulu orang Adonara terkenal dengan perang tanding; perang antar keluarga, antar suku atau antar kampung. Penyebab paling pertama terjadinya perang adalah persoalan batas wilayah, dan hak atas kepemilikan tanah. Dari corak, tarian ini terbagi dalam tiga jenis:
1.      Hedung Tubak Belo (menggambarkan perang tanding).
Tarian ini dilakukan ketika hendak berperang. Secara komunal masyarakat Adonara mulai berkumpul dan melangsungkan ritual adat yang diselingi dengan tarian Hedung di rumah adat. Ritual adat dan tarian ini sendiri merupakan bentuk permohonan (doa) masyarakat adonara yang dipanjatkan kepada Rela Wulan Tana Ekang (langit dan bumi), agar dilimpahkan keselamatan dan kemenangan bagi masyarakat Adonara yang akan bertempur di medan laga.
2.      Hedung Hodi Kotek (menggambarkan acara penjemputan perang yang membawa kepala sebagai tanda kemenangan).
Tarian ini dilakukan ketika pasukan yang diutus kembali dengan kemenangan. Para penari biasanya menjemput pasukan yang membawa kepala sebagai tanda kemenagan, dengan iringan tari-tarian mulai dari pintu gerbang kampung  sampai ke rumah adat untuk prosesi atau upacara selanjutnya.
3.       Hedung Mageneng Kabeleng (menggambarkan acara penerimaan tamu).
Tarian ini dilakukan pada saat kedatangan tamu agung (orang besar). Melambangakan sikap hormat dan pengahargaan (respek) masyarakat Adonara terhadap tamu yang datang.
Peralatan yang digunakan dalam membawakan tarian ini antara lain: Kanube (parang), Gala (tombak atau lembing), Doopi (Perisai), Kenobo (perhiasan di kepala terbuat dari daun kelapa atau daun lontar), Gasing (alat yan dipasang pada pergelangan kaki, yang berbunyi jika kaki dihentakan), Gong bawa (gong gendang), Gong Inang (gong induk), Gong Anang (gong anak atau kecil), Keleneng dan Tmirung, dan Gendang.
Para penari memiliki busana khusus pada saat membawakan tarian ini. Busana yang dikenakan penari tersebut dirinci dalam beberapa jenis  yaitu: Nowing (kain sarung tenun asli daerah yang dipakai kaum pria), Kelala (ikat pinggang), dan Senai (kain selendang tenun asli daerah). Penari berjumlah tidak tentu, sesuai dengan kebutuhan. Namun biasanya paling sedikit lima orang. Penari  yang posisinya paling depan umumnya bertindak sebagai pemandu.
B.  Tarian Hedung dan Transformasi Logis
1.    Tarian Hedung dan transformasi eksistensi
Pemaparan singkat tentang tarian hedung pada sub bahasan diatas, sekiranya menjadi dasar pijak atau dasar tolak untuk melihat seberapa jauh tarian ini telah mengalami transformasi atau perubahan. Eksistensinya, tarian ini tidak mengalami perubahan berarti. Gerakan-gerakan tarian hegong sendiri mutlak tidak mengalami perubahan, demikian pun dengan peralatan tari yang digunakan. Hanya dalam beberapa pertunjukan kita dapat menjumpai para penari yang tidak lagi menggunakan Nowing (kain sarung adat yang digunakan penari) tetapi kain biasa. Tidak ada alasan mendasar mengapa terjadi demikian, tetapi kelompok berusaha memberikan sedikit analasis terhadap fenomena ini.
Perkembangan dan kemajuan teknologi memiliki dampak terhadap perubahan-perubahan sosial yang terkajadi dalam masyarakat. Demikian pun yang dialami masyarakat Adonara. Masuknya komoditas-komoditas luar berimbas pada lengsernya kedudukan kerajinan lokal yang ada dalam masyarakat Adonara. Hal ini berpengaruh pada melemahnya etos kerja masyrakat, terutama dalam menciptakan kerajinan-kerajinan lokal. Pada akhirnya pasar komoditas luar mendapat tempat khusus dalam kehidupan masyarakat setempat. Oleh karena itu menjadi sulit pada generasi sekarang untuk menemukan kerajinan-kerajinan lokal seperti tenunan asli. Demikian analisis kelompok terhadap fenomena yang terjadi.
2.    Tarian Hedung dan Tranformasi Esensi
  Bahwasannya ketika kita mulai mengkaji lebih dalam ternyata esensi dari tarian hegong telah sedikit demi sedikit mengalami pergeseran atau perubahan (transformasi), yang dinilai cukup signifikan
a.       Konteks Waktu
Dewasa ini, pertunjukan tarian hedung tidak lagi berlangsung hanya ketika terjadi perang tanding. Dalam beberapa moment tarian hegong sudah dipertunjukan sebagai bentuk hiburan rakyat. Misalnya ketika menjemput tamu agung, dan menjadi tarian tahunan menyambut datangnya tahun baru serta ketika berlangsung acara adat besar lainnya.
Hal ini terjadi semenjak pemerintah mulai mengintervensi kehidupan sosio-kultural masyarakat setempat. Dalam banyak kasus, kecenderungan pemerintah untuk turut terlibat terhadap persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat, terutama yang sifatnya provokatif (berpotensi melahirkan konflik) misalnya persoalan hak ulayat dan batas tanah (wilayah) menjadi sangat besar. Dengan demikian solusi yang dipakai menjadi bervariatif demi menghindari terjadinya pertumpahan darah. Pada masa inilah orang-orang Adonara mulai meninggalkan tradisi perang tanding sebagai jalan keluar terhadap masalah hak ulayat atau batas tanah.
Mengurangnya frekuensi perang tanding yang terjadi di Adonara, pada akhirnya berdampak pula terhadap keberlangsungan hidup tarian hedung itu sendiri. Mensiasati ketakutan punahnya tarian ini, maka masyarakat Adonara mulai mencari cara untuk menjaga kelesatarian hedung, antara lain dengan menerapkan cara-cara seperti yang telah kelompok paparkan diatas.
b.      Pergeseran Nilai dan Orientasi
Perkembangan terakhir menunjukan bahwa telah terjadi tranformasi nilai dan orientasi kulturalis dalam tubuh tarian hedung. Nilai dan orientasi itu sendiri sebenarnya termaktub dalam pemakanaan atau makna terian tersebut; membahasakan apa tarian hedung pada taraf sebenarnya?
Menurut keyakinan masyarakat setempat (masyarakat Adonara), selain sebagai ungkapan penghormatan terhadap tamu agung yang mengunjungi wilayah mereka, tarian ini  juga sebenarnya merupakan untaian doa permohonan dan syukur terhadap Rela Wulan Tanah Ekan (panguasa langit dan bumi). Permohonan yang dimaksud adalah permohonan atau permintaan agar diberikan berkat keselamatan dan kemenangan bagi laskar adat atau suku ketika berlaga dimedan perang, dan pengertian syukur itu sendiri merujuk pada syukur atas karunia kemenangan yang diperoleh.
Pengertian pergeseran nilai dan orientasi yang dimaksudkan kelompok sebenarnya menitikberatkan pada konteks doa permohonan dan syukur sebagai pemaknaan terhadap simbol dari masyarakat Adonara. Dewasa ini Hedung dipahami sebagai tarian penghormatan terhadapa arwah leluhur yang mati atau telah mengorbankan jiwa raganya ketika bertempur (perang tanding). Terkandung syukur dan permohonan tetapi dalam konteks yang berbeda. Permohonan yang dipahami saat ini adalah permohonan keselematan jiwa bagi leluhur tersebut, dan syukur sendiri adalah syukur atas karunia dan berkat yang boleh diterima masyarakat sepanjang perjalanan hidup masyarakat Adonara  baik sebagai komuninitas maupun sebagai individu.
Alasan untuk menjawabi pertanyaan mengapa hal ini terjadi; masih berkaitan dengan alasan yang dipaparkan pada poin pertma diatas yakni ketika pemerintah mulai mengintervesnsi kehidupan masyarakat, kemudian berimpact pada masyarakat mulai meninggalkan perang tanding, selanjutnya timbul kesadaran masyarakat terhadap upaya melestarikan tarian ini, dan berimbas juga pada penilaian atau pemaknanaan itu sendiri.
C.  Penutup
Pada semua bentuk kebudayaan, fenomena yang disebut sebagai transformasi atau perubahan menjadi sesuatu yang tidak terelakan. Sifat kebudayaan yang dinamis; yang senantiasa mengikuti perubahan pola hidup atau kehidupan sosial masyarakat, demi pemenuhan kebutuhan hidup manusia itu senadiri, berandil pada perubahan yang terjadi pada bentuk kebudayaan itu sendiri, baik secara eksistensi maupun esensinya.
Demikian pun yang terjadi pada tarian Hedung (tarian adat orang Adonara). Perkembangan zaman secara mengglobal yang dibarengi dengan perkembangan cara berpikir manusia telah menyebabkan perubahan yang sangat signifikan dalam diri terian tersebut. Seperti yang dipaparkan diatas bahwa perubahan itu sendiri terjadi baik pada tataran eksistensi  maupun pada tataran esensi tarian itu sendiri.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa rangkaian kebutuhan kompleks manusia serta perkembagan arus peradaban yang mengglobal merupakan faktor penting terhadap lahirnya fenomena atau gejala perubahan pada kebudayaan

A. LATAR BELAKANG
            Sebagai sebuah terminologi, multikulturalisme kadang agak membingungkan karena ia merujuk secara sekaligus pada dua hal yang berbeda: realitas dan etika, atau praktik dan ajaran.  Sebagai realitas atau praktik, multikulturalisme dipahami sebagai representasi yang produktif atas interaksi di antara elemen-elemen sosial yang beragam dalam sebuah tataran kehidupan kolektif yang berkelanjutan.  Sebagai sebuah etika atau ajaran, multikulturalisme merujuk pada spirit, etos, dan kepercayaan tentang bagaimana keragaman atas unit-unit sosial yang berciri privat dan relatif otonom itu, seperti etnisitas dan budaya, semestinya dikelola dalam ruang-ruang publik.
            Dalam masyarakat-masyarakat yang memiliki kesempatan untuk berevolusi melalui perubahan sosial yang panjang dan bersifat gradual, multikulturalisme (dengan nama yang sama atau yang lain) sering merupakan hasil dari sebuah proses sosial yang terjadi.  Dengan kata lain, sejarah yang panjang telah menghasilkan sebuah tatanan kolektif yang memungkinkan di satu pihak keragaman mendapatkan ruang untuk berkembang dan di pihak lain memungkinkan integrasi sosial di tingkat yang lebih tinggi dapat terpelihara.
Dalam masyarakat semacam ini, multikulturalisme adalah hasil dari sebuah logika yang dibangun dari realitas sebuah masyarakat majemuk.   Kebanyakan masyarakat Barat jatuh dalam kategori ini.  Amerika adalah contoh sebuah masyarakat yang “menemukan” logika “melting-pot” sebagai jawaban atas kemajemukan. Logika ini tidak dibangun pertama-tama dari gagasan ideal, tetapi dibangun dari sebuah keniscayaan sosial.  Alhasil, melting-pot multikulturalisme ala Amerika adalah sebuah nilai yang melembaga bersama-sama dengan nilai-nilai penting masyarakat Amerika lainnya.  Dalam ekspresi mereka, multikulturalisme adalah jawaban kepada kebutuhan bagi terjaminnya prinsip the freedom of expression.  Di Australia, dengan sejarah yang sedikit berbeda, multikulturalisme memperoleh tempat yang penting sebagai institusi sosial yang memperkuat demokrasi dan komitmen warga negara terhadap Australia.
Di kebanyakan belahan dunia yang lain, dalam mana sebagian besar dari mereka adalah bangsa-bangsa bekas jajahan yang terdiri atas kelompok-kelompok etnik dan budaya yang sangat majemuk itu, multikulturalisme adalah sebuah gagasan yang diperjuangkan.  Bahkan, lebih dini dari itu, kebanyakan negeri-negeri yang relatif muda usia ini, harus berjuang terlebih dahulu dengan gagasan nasionalisme. Gagasan nasionalisme negeri-negeri yang pada umumnya memperoleh kemerdekaannya setelah Perang Dunia Kedua ini, dibangun melalui kesadaran para pemimpinnya akan sebuah kepercayaan bahwa sebuah negeri yang amat majemuk, sering kali terdiri atas puluhan bahkan ratusan kelompok etnis, hanya mungkin dipersatukan dengan ikrar yang meneguhkan persatuan sebagai dasar untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik.
Akar nasionalisme Indonesia sejak awal justru didasarkan pada tekad yang menekankan cita-cita bersama di samping pengakuan sekaligus penghargaan pada perbedaan sebagai pengikat kebangsaan.  Di Indonesia, kesadadaran semacam itu sangat jelas terlihat.  Bhinneka Tunggal Ika (“berbeda-beda namun satu jua”) adalah prinsip yang mencoba menekankan cita-cita yang sama dan kemajemukan sebagai perekat kebangsaan.  Dalam prinsipnya, etika ini meneguhkan pentingnya komitmen negara untuk memberi ruang bagi kemajemukan pada satu pihak dan pada pihak lain pada tercapainya cita-cita akan kemakmuran dan keadilan sebagai wujud dari tujuan nasionalisme Indonesia.
Pada tempat inilah, penafsiran pada nasionalisme Indonesia semestinya memperhatikan dua elemen dasar itu secara sekaligus.  Ikatan kebangsaan yang semata-mata didasarkan pada nilai-nilai kemakmuran (yang bersifat material itu) dan keadilan (yang bersifat spiritual itu) tidak akan mampu menjawab persoalan tentang bagaimana kemajemukan itu hendak dikelola dalam proses pencapaian tujuan bersama yang mulia itu.  Pencapaian tujuan bersama jelas merupakan sebuah proses yang tidak saja kompleks secara ekonomi dan politik tetapi juga sebuah proses yang panjang dan berkelanjutan secara sosial dan budaya.
Bangsa semajemuk Indonesia jelas memerlukan lebih dari itu.  Nasionalisme Indonesia yang hanya mendasarkan pada elemen pertama, yakni pengikatan diri pada cita-cita bersama akan kemakmuran dan keadilan, senantiasa akan terancam karena mudah dirongrong oleh persepsi tentang kegagalan kolektif kita dalam pencapaian tujuan bersama itu.  Di samping itu, nasionalisme yang melulu dibangun pada janji sebuah kehidupan bersama yang lebih baik itu, mudah lapuk karena kemajemukan itu sendiri menawarkan ketegangan yang inheren.
Dalam gagasan pokok semacam inilah, penafsiran atas akar nasionalisme Indonesia itu selayaknya juga memberi dasar bagi sebuah kesadaran kolektif untuk mengembangkan dan membangun sebuah pendekatan yang memungkinkan keragaman etnik dan kultural itu justru menjadi kekuatan bangsa ini untuk melanjutkan pencapaian cita-citanya.  
Tulisan ini sebenarnya mempersoalkan pentingnya pemahaman pluralisme budaya bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Realitas Indonesia sebagai bangsa besar dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda pada masing-masing daerah, selain dipahami sebagai sebuah kebanggaan juga dapat menjadi boomerang bagi keutuhan NKRI. Perbadedaan kebudayaan sendiri sebenarnya menjelaskan tentang perbedaan orientasi, way of life (pandangan hidup), serta ideology dari kelompok-kelompok masyarakat tersebut.
Hemat saya perbedaan-perbedaan yang sifatnya hakiki dan merupakan fundamen dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat seperti yang telah dijelaskan diatas, bukan tidak munfkin akan mendatangkan malapetaka. Konflik berdarah pada akhirnya akan menjawabi kebutuhan akan sebuah pemahaman yang sama tentang perbedaan. Oleh karena itu menjadi tugas rumah untuk kita, dalam usaha menciptakan masyarakat Indonesia yang berwawasan multikulturalisme. Karena hemat saya, jawaban terhadap keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah pemahaman tentang multikulturalisme sehingga perbedaan tidak meruncing pada; misalnya pembantaian etnis, pembakaran gereja atau tempat ibadah, dll.  
B.  KONSEP MULTIKULTURALISME

            Keragaman, atau kebhinnekaan atau multikulturalisme merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan di waktu-waktu mendatang. Multikulturalisme secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan, bahwa sebuah negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya, negara tidak mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal.

Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Multikulturalisme dapat pula dipahami sebagai "kepercayaan" kepada normalitas dan penerimaan keragaman. Pandangan dunia multikulturalisme seperti ini dapat dipandang sebagai titik tolak dan fondasi bagi kewarganegaraan yang berkeadaban. Di sini, multikulturalisme dapat dipandang sebagai landasan budaya (cultural basic) bagi kewargaan, kewarganegaraan, dan pendidikan.

Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.

Pandangan dunia "multikultural" secara substantif sebenarnya tidaklah terlalu baru di Indonesia. Prinsip Indonesia sebagai negara "bhinneka tunggal ika", mencerminkan bahwa meskipun Indonesia adalah multikultural, tetapi tetap terintegrasi dalam keikaan, kesatuan. Pembentukan masyarakat multi-kultural Indonesia tidak bisa secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated, dan berkesinambungan. Langkah yang paling strategis dalam hal ini adalah melalui pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, dan bahkan informal dalam masyarakat luas.

Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak negara Republik Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan dan persatuan. Paham monokulturalisme kemudian ditekankan. Alhasil sampai saat ini,  wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah.
 
Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah "masyarakat multikultural Indonesia" dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak "masyarakat majemuk" (plural society).  Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman sukubangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut.  Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: "kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah". 
              
C.  PENDIDIKAN BERWAWASAN MULTIKULTURALISME

Secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan". Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.

Dalam aktivitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik.
 Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau politics of recognition politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.

Istilah "pendidikan multikultural" dapat digunakan baik pada tingkat deskriftif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriftif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.

Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.

Secara konseptual, sistem pendidikan nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh, dan terpadu. Semesta berarti pendidikan bersifat terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku di seluruh wilayah negara. Menyeluruh dalam arti pendidikan harus mencakup semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Selanjutnya, terpadu dalam arti adanya saling keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional. 

Sistem pendidikan nasional harus dapat memberi pendidikan dasar bagi setiap warga negara. Dengan demikian setiap warga negara dapat memperoleh sekuang-kurangnya pengetahuan dan kemampuan dasar, yang meliputi kemampuan membaca, menulis, dan berhitung serta menggunakan bahasa Indonesia. Kemampuan dasar itulah yang diperlukan oleh setiap warga negara untuk dapat berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam perspektif keragaman budaya, sistem pendidikan nasional harus memberi kesempatan belajar yang  seluas-luasnya kepada setiap warga negara. Oleh karena itu, dalam penerimaan sebagai peserta didik, tidak dibenarkan adanya perbedaan atas jenis kelamin, agama, ras, latar belakang sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi.  Perluasan istilah dan konsep “satu sistem pengajaran nasional” menjadi “satu sistem pendidikan nasional” dalam  UU Sistem Pendidikan Nasional memungkinkan pemberian perhatian terhadap unsur pendidikan yang berhubungan dengan kepribadian manusia. Pada gilirannya, hal tersebut diharapkan dapat mewujudkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bertaqwa, memelihara kemanusiaan, dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

            Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman. Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multikultural diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik. Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan.

Pendidikan merupakan social production, menyiapkan generasi muda untuk mengambil alih peran pendahulunya. Di samping mempelajari hal-hal yang bersifat akademis, pembekalan kepribadian penting artinya untuk menghadapi lingkungan dalam situasi apapun. Pendidikan diarahkan untuk memekarkan eksistensi kemanusiaan dan bukan sekadar agar manusia dapat hidup secara biologis meteriil semata.

            Sekolah sebagai suatu institusi diharapkan mampu menjadi pesemaian “bibit-bibit” bagi kekuatan kehidupan masyarakat di masa datang.  Pendidikan merupakan bagian dari pro­ses pembudayaan nurani dan pemerdekaan berpikir. Semuanya diarah­kan pada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa dan berbudi pekerti luhur, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UUSPN Bab II, pasal 4).

D. Multikulturalisme sebagai Alternatif
Dalam pandangan saya, multikulturalisme didefinisikan oleh banyak kalangan sebagai sebagai sebuah kepercayaan yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnik atau budaya (ethnic and cultural groups) dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain adalah sebuah tema yang relatif baru dibicarakan di negeri ini.  Sebagai sebuah tema, multikulturalisme dibicarakan umumnya dalam kerangka mengunjungi kembali (revisiting) dan menemukan kembali (reinventing) gagasan-gagasan yang lebih masuk akal tentang bagaimana sebuah masyarakat majemuk di Indonesia ini dapat dikembangkan dalam sebuah konsepsi masyarakat “warna-warni” yang tidak saja berciri partisipatoris namun juga emansipatoris. 
Jelas, semangat dasar awalnya adalah mencoba menggugat pertanyaan pokok tentang bagaimana kelompok-kelompok etnik (yang lokal itu) dan budaya (yang partikular itu) itu semestinya memposisikan dirinya ke dalam sebuah kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat nasional yang dikelilingi oleh nilai-nilai universal (seperti demokrasi, keadilan, persamaan, dan kemerdekaan) dan, bahkan akhir-akhir ini, dalam sebuah tataran global yang menyelimuti sebuah perubahan besar.  Dengan kata lain, bagaimanakah kelompok-kelompok etnik dan budaya yang berbeda denominasinya itu di satu pihak memiliki kesanggupan untuk memelihara identitas kelompoknya dan di pihak lain mampu berinteraksi dalam ruang bersama yang ditandai oleh kesediaan untuk menerima pluralisme dan toleransi (mengakui dan menghormati perbedaan).
Lebih jelas lagi, bagaimanakah, misalnya, kelompok-kelompok etnik Pidie, Mandailing, Minang, Betawi, Sunda, Jawa, Cina, Bali, Manggarai, Ambon, Manado, Serui, yang beragama Islam, Hindu, Khong Hu Cu, Budha, Kristen, Katolik, atau yang beraliran kepercayaan Pangestu, itu semua, mampu hidup berdampingan dalam sebuah habitat sosial yang di satu pihak memberi tempat bagi terpeliharanya identitas lokal dan kepercayaan partikularnya masing-masing, dan di pihak lain memberi kesempatan bagi sebuah proses terjadinya integrasi sosial, politik, budaya, dan ekonomi di tingkat nasional dan global.
Memang, ihwal itu bukan hal sederhana.  Ketidaksederhanaan perkaranya pertama-tama terletak pada masalah bagaimanakah kesadaran bersama itu dibangunkan dalam sebuah ruang yang di samping memberikan kebebasan untuk melakukan interpretasi yang serba-ragam juga mengundang elemen-elemen yang berbeda itu untuk menemukan kebutuhan bersama bagi sebuah integrasi di tingkat yang lebih tinggi.  Kedua, proses itu tidak terjadi dalam ruang yang terisolasi dari persoalan-persoalan ketidakmerataan, bahkan ketidakadilan, tentang bagaimana sumber-sumber politik dan ekonomi itu dialokasikan dan didistribusikan dalam masyarakat nasional dan internasional.  Ketiga, perubahan yang berlangsung di tataran global mendiktekan agenda-agenda politik dan ekonomi baru yang mempersempit kesempatan kita untuk mendefiniskan kembali gagasan-gagasan dasar tentang negara (serba-) bangsa (the idea of Indonesian [multi-) nation-state) tanpa meingindahkan gagasan-gagasan dan praktik-praktik materialisame-rasional yang dibawa serta oleh ekonomi pasar global.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa usaha mempromosikan multikulturalisme di Indonesia adalah sebuah langkah yang muskil. Saya, sebaliknya, sedang mengatakan multikulturalisme merupakan sebuah agenda besar bersama kita yang tidak saja perlu dan penting, tetapi juga merupakan satu-satunya jawaban atas kegagalan kita di masa lalu mengelola masyarakat majemuk di Indonesia.  Walaupun begitu, saya juga ingin mengatakan bahwa ihwal yang kita sedang hadapi dalam mendefiniskan, menyepakati, mempromosikan, dan melembagakan multikulturalisme adalah sebuah proses yang sepenuhnya harus dipahami sebagai agenda yang asli baru dalam wacana politik-budaya di Indonesia.  Dalam pengertian ini, multikulturalisme jelas harus bersaing dengan pendekatan Asimilasi (di negeri ini juga dikenal dengan nama populer Pembauran) dan bahkan mungkin juga dengan pendekatan Integrasi yang pada masa lalu dipromosikan oleh eksponen BAPPERKI.
Pendekatan Asimiliasi berangkat dari kesadaran tipologis tentang (yang) “asli” dan (yang) “asing”.  Asumsi yang dipakai dalam tipologi ini adalah yang “asli” harus dilindingi dari yang “asing” karena kepercayaan bahwa yang disebut terakhir itu memiliki potensi mengancam yang pertama.  Itu sebabnya pendekatan Asimilasi mendiktekan sebuah strategi budaya yang mendorong yang “asing” membaur dengan yang “asli”.  Harus dikatakan di sini, walaupun secara teoritis yang disebut dengan yang “asing” itu berlaku untuk semua yang “tidak asli”, dalam kenyataannya wacana itu terutama diarahkan pada kelompok etnis Cina.  Tidak heran apabila pendekatan Asimilasi ini dituduh tidak hanya berbau xenophobia tetapi juga rasis. Di samping itu, sebenarnya terdapat masalah yang rumit dalam definisi tentang “asli” dan “asing” di negeri kepulauan ini yang selama berabad-abad sebelumnya menerima migrasi dari berbagai bangsa.
Sementara itu, pendekatan Integrasi, menurut saya, tidak cukup lengkap menjawab kebutuhan masyarakat meajemuk di negeri ini.  Salah satu alasan utamanya adalah, pendekatan ini jelas dimaksudkan pada awalnya sebagai reaksi penolakan sebagian kelompok etnis Cina terhadap gagasan pembauran.  Saya tidak menampik pada gagasan dasarnya yang menuntutkan penerimaan dan perlakukan yang sama terhadap kelompok etnis Cina di Indonesia se-sama seperti yang diterima oleh kelompok-kelompok etnis lainnya (baik yang “asli” maupun yang “asing” lainnya seperti kelompok etnis Arab atau yang setengah “asli” setengah “asing” (seperti kaum Indo). 
Tidak ada penolakan saya sedikitpun tentang gagasan itu.  Yang saya kira tidak memadai dari pendekatan integrasi itu adalah tidak hadirnya konsepsi masyarakat yang dibangun atas ciri kemejemukan yang partisipatoris dan emansipatoris.  Selain itu, pendekatan integrasi berkesan memfokuskan perhatiannya pada hubungan di antara etnis Cina dan Bumiputera daripada terutama pada hubungan antar-etnis yang beragam di negeri ini termasuk etnis Cina.
Dalam keyakinan saya, sebagai sebuah pendekatan politik budaya, multikulturalisme menawarkan hadirnya realitas ganda atau (dual-reality) atau bahkan realitas ragam (multy-reality) sekaligus:  kebedaan-kemiripan (differences-similarities), keragaman kesatuan (diversity unity), identitas-integrasi (identity-integration), lokalitas/partikularitas-universalitas (locality/particularity-universality), nasionalitas-globalitas (nationality-globality). Dalam konstruksi seperti itu, multikulturalisme memfasilitasi pemahaman yang lebih baik dan mengeliminasi ketegangan dikotomis tentang realitas ganda atau ragam di sekitar etnisitas dan budaya.  Jelas, multikulturalisme tidak atau tidak pernah dimaksudkan untuk menghilangkan kekhususan (specifity) dari sebuah ciri etnik atau budaya; tidak juga dimaksudkan untuk meleburnya ke dalam sebuah keumuman (generality).  Dengan definisi seperti ini, multikulturalisme dalam pandangan saya adalah, sebuah formasi sosial yang membukakan jalan bagi dibangunnya ruang-ruang bagi identitas yang beragam dan sekaligus jembatan yang menghubungkan ruang-ruang itu untuk sebuah integrasi.
E.  Pendekatan Pro-Eksistensi dalam Multikulturalisme di Indonesia
Mempromosikan multikulturalisme, karena itu, bukan sekedar langkah menyuguhkan warna-warni identitas.  Tetapi, pertama-tama, membangun kesadaran tentang pentingnya kelompok-kelompok etnis dan budaya itu memiliki kemampuan untuk berinteraksi dalam ruang bersama.  Kata kunci dari pendekatan ini terletak pada usaha yang lebih sistematis untuk menyertakan pendekatan struktural politik dan ekonomi dalam proses itu.  Ini berarti bahwa multikulturalisme di negeri ini membutuhkan pengintegrasian pendekatan lainnya selain budaya untuk memungkinkan tema-tema yang relevan di sekitar keadilan dan persamaan dapat menjadi faktor yang ikut memperkuat multikulturalisme. 
Hakikatnya prinsip pro-eksistensi ini ditandai tidak saja oleh hadirnya kualitas hidup berdampingan secara damai, tetapi juga oleh kesadaran untuk ikut menjadi bagian dari usaha memecahkan masalah yang dihadapi oleh kelompok lain.  Karena itu, pro-eksistensi menghendaki diakhirinya kebisuan (silence) dan pembiaran (ignorance) atas nasib kelompok lain.  Dengan kata lain, pro-eksistensi mensyaratkan juga prinsip inklusi, bukan eksklusi (inclusion not exclusion).  Kualitas semacam ini diperlukan untuk memungkinkan kelompok-kelompok yang berbeda itu memiliki kebutuhan untuk menghasilkan integrasi di samping identitas lokal dan partikular yang serba-ragam itu.
Di tingkat global, multikulturalisme menghadapi ancaman yang berbeda.  Apabila di tingkat negara bangsa multikulturalisme diperlukan untuk mengelola identitas etnik dan kultural yang serba-ragam itu, di tingkat global kecenderungan yang sebaliknya justru sedang terjadi.  Globalisasi menghasilkan kecenderungan monokulturalisme yang terutama didorong oleh proses-proses dan praktik-praktik material-rasional yang dibawa oleh ekonomi pasar global.  Walaupun di atas permukaan teknologi informasi tampak secara ramai mendorong terjadinya pertukaran budaya (cultural exchange), di antaranya melalui prinsip peminjaman (borrowing) dan sampai batas-batas tertentu sinkretisme, yang sesungguhnya terjadi tidak lebih dari usaha penegasan budaya dominan di atas yang lain. 
Konsep “Other” dipakai untuk membangun sebuah struktur hirarki budaya dominan-marjinal, moderen-etnik, global-lokal.  Jelas, ini bukan multikulturalisme yang partisipatoris dan emansipatoris.  Struktur hirarki budaya semacam ini hanya ingin mengukuhkan superioritas yang disebut pertama (dominan-moderen-global) atas yang terakhir (marjinal-etnik-lokal).  Yang disebut terakhir dihadirkan sebagai bentuk ekspresi eksotisme komunitas etnik yang lokal, mungkin sekaligus partikular, sebagai kontras dari rasionalitas modernitas global. Walaupun pembicaraan tentang tema ini merupakan arena yang berbeda dari yang kita bicarakan sebelumnya, dalam pandangan saya, sangat penting untuk memperhatikan apa yang saya sebut sebagai perangkap budaya globalisasi.  Multikulturalisme global yang sedang terjadi dapat membuat kita terasing pada dua hal sekaligus: terasing dari habitat kita sendiri dan dari dunia yang mengelilingi kita .  Perangkap ini dapat membuat kita terkecoh karena multikulturalisme yang dalam asasnya tak berbeda dengan pendekatan Asimilasi yang kita bicarakan tadi itu justru mengakibatkan terjadinya proses dislokasi, disorientasi, disafiliasi, dan disintegrasi.  
Di tengah globalisasi, isolasi memang bukan jawaban atas perkara itu.  Dunia sedang berubah dan selalu memang begitu.  Perubahan yang saat ini sedang terjadi menjadi lain dari perubahan-perubahan sebelumnya karena konsepsi tentang identitas tidak lagi dapat dikurung dalam ruang hampa.  Globalisasi membuat kesadaran etnik dan budaya menjadi serba absurd.  Relativitas menjadikan identitas tidak mudah dikonstruksikan oleh proses-proses budaya yang otonom.  Karena itu, multikulturalisme, baik di tingkat nasional maupun global, membutuhkan redefinisi atas kehidupan bersama.  Juga, reposisi dan renegosiasi atas cara kita memberi makna atas prinsip-prinsi keadilan dan persamaan.  Dalam keyakinan multikulturalisme saya, yang kita butuhkan bukan monokulturalisme tetapi multikulturalisme; bukan pembauran tetapi pambaruan; bukan ko-eksistensi tetapi pro-eksistensi; bukan eksklusi tetapi inklusi; bukan separasi tetapi interaksi.  Bukan juga kemajemukan demi kemajemukan, atau kemajemukan sekedar warna-warni, tetapi kemajemukan yang dibangun di atas landasan multikuturalisme yang emansipatorik.
F.   PENUTUP
Pemahaman tentang multikulturalisme sangat penting dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia demi tercapainya keutuhan NKRI. Telah dipaparkan diatas bahwa kesalahan dalam mempersepsi perbedaan akan berakibat sangat fatal terhadap usaha integratisasi yang diusahakan oleh Negara Indonesia. NKRI sebagai Negara dengan beribu-ribu macam kebudayaan, memiliki tugas penting bagi masyarakatnya dalam rangka menanamkan pengetahuan multikulturalisme bagi generasi-generasi penerus bangsa. Sehingga pada akhirnya keutuhan bangsa dapat diperthankan.
Tidak dapat disangkal bahwa pendidikan multikuturalisme merupakan alat penangkal dalam usaha meminimalisasi ketegangan-ketegangan yang terjadi dalam masyarakat akibat perbedaan-perbedaan yang ada. Masyarakat Indonesia seperti dijelaskan dalam pendekatan Pro-Eksitensi, haruslah menjadi partner atau rekan kerja bagi usaha mempertahankan keutuhan bangsa. Usaha atau kegiatan positif dari suatu kelompok kebudayaan, haruslah didukung oleh kelompok kebudayaan lain, sehingga tercipta semangat tenggang rasa atau tepo seliro.
Melalui tulisan ini saya menghimbau agar masyarakat Indonesia, khususnya kita sebagai mahasiswa agar terus menanamkan semangat persaudaraan serta rasa memiliki terhadap NKRI, serta membantu usaha masyarakat seluruhnya dalam memelihara perdamaian. Dan tetap menjaga keharmonisan dengan giat mengembangkan serta meberdayagunakan nilai pluralism dalam tiap kebudayaan.